Senin, 19 November 2012

kandungan bahan kimia pada bisa ular dan keuntunganya (serum racun)


KANDUNGAN BAHAN KIMIA PADA BISA ULAR DAN KEUNTUNGANYA
(SERUM RACUN)

Ular adalah salah satu binatang reptilia yang tersebar luas di seluruh benua baik spesies yang berbisa ( berbahaya ) maupun spesies yang tidak berbisa ( tidak berbahaya ). Ular yang berbisa menghasilkan bisa untuk melemahkan musuh atau mangsanya serta sebagai alat untuk mempertahankan diri. Racun / bisa ular akan di injeksikan pada tubuh mangsanya melalui gigitan bila merasa terancam , ketakutan atau merasa terusik atau jika ular ingin melumpuhkan mangsanya.

Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai kelenjar saliva pada hewan vertebrata, hal ini bisa dikatakan bisa ular merupakan modifikasi dari saliva ini. Setiap spesies ular menghasilkan komponen dan kandungan bahan toksik atau non toksi k yang berbeda beda. Tetapi jika ular tersebut memiliki kekerabatan maka komponen penyusun bisanya akan mirip. Umumnya setiap jenis ular berbisa mengandung hemoragin, kardiotoksin, dan neurotoksin dengan kadar yang berbeda beda.

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).

Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90 % tersusun atas protein yang sebagian besar adalah enzim serta mengandung polipeptida, Enzim utama bisa ular antara lain proteolitik , hialurinidase, asam amino oksidase, kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase, fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase.

Protein penyusun bisa ular jika di suntikkan dan masuk ke aliran darah akan mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf. Untuk mengatasi gigitan ular berbisa maka digunakan antibisa ular yang di suntikkan langsung ke pembuluh vena. Antibisa ular adalah serum atau antibodi yang diproduksi untuk menetralisir efek sari infeksi bisa ular tersebut. Serum ini diperoleh dengan cara menginjeksikan bisa ular yang telah dilemahkan ke dalam tubuh kuda.
Ada 2 jenis Racun ular, yaitu
1.     Neurotoksin : Dapat melumpuhkan sistim saraf pusat, melumpuhkan jantung dan sarah pernafasan. Racun jenis ini dimiliki oleh ular Kobra, ular Mamba, ular Laut, Krait, Ular Karang.
2.     Hemotoksin: Dapat menyerang sistim sirkulasi darah dan sistim otot dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan, gangrene, kelumpuhan permanen kemapuan bergerak otot. Racun jenis ini dihasilkan oleh keluarga ular Viperidae misalnya Rattle Snake, Coppe head, dan Cotton mouth.
Sampai saat ini dikenal sekitar 20 jenis enzim yang beracun. Umumnya ular berbisa memiliki 6 sampai 12 jenis enzim dalam bisanya. Masing masing berfungsi khusus, misalnya untuk mencerna mangsa, sedangkan enzim yang lain untuk melumpuhkan mangsa.
Beberapa Jenis enzim yang dimiliki ular berbisa:
  • Cholinesterase : Neurotoksin dan dapat melumpuhkan mangsa
  • Amino Acid Oxidase : Berfungsi mencerna mangsa dan memicu peran enzim lainnya.
  • Hyaluronidase : Berfungsi untuk mempermudah penyerapan enzim lain kejaringan korban.
  • Proteinase: Berfungsi untuk mencerna, mengahancurkan jaringan tubuh korban.
  • Adenosin Triphospatase : Diduga neurotoksin yang bekerja sentral dan menyebabkan korban mengalami syok dan melumpuhkan mangsa.
  • Phospodiesterase : Bekerja dengan cara mengganggu fungsi jantung dan menurunkan tekanan darah dengan cepat.

Khasiat Serum Ular
RACUN, apalagi racun ular, memang memiliki sifat mematikan. Racun alias bisa ular itu sangat ganas. Sebab, racun ular itu bisa dengan cepat melumpuhkan saraf si korban (eurotoxin). Atau ada juga racun ular yang bersifat melumpuhkan sistem sirkulasi darah (hematoxin). Namun, sifat membunuh sang racun itu itu ternyata bisa bermanfaat buat manusia. Sebab, serum racun alias bisa ular ternyata juga dapat membunuh berbagai bibit penyakit. Menurut Snake Hunter Club Indonesia (SHCI), organisasi pecinta ular yang juga mengembangkan penggunaan serum ular di Indonesia, ada sejumlah penyakit yang bisa disembuhkan serum ular. Seperti disebut di tulisan pertama, serum ular terdiri dari tiga kelas. Masing-masing kelas memiliki khasiat dan cara kerjanya sendiri-sendiri.
Serum bisa ular paling ringan, yakni kelas III, dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang diakibatkan virus, seperti malaria, demam berdarah, dan rabies. Maklum saja, “Serum kelas tiga ini akan membunuh berbagai macam virus yang masuk ke dalam tubuh, sehingga pasien bisa sehat kembali, ” dan membikin kita kebal terhadap terhadap penyakit malaria, tetanus, rabies, dan kalau kecelakaan, luka cepat kering, jelas Transtoto Handadhari, Ketua Dewan Pembina Snake Hunter Club Indonesia. Serum kelas III yang terbuat dari bisa ular air, talimongso, gadung, koros, piton, sanca manuk, sanca kembang, sawah, dedak, blandotan kerawang, puspa kajang, dan samberlilen. Selain itu, kata Transtoto, serum bisa ular paling ringan ini juga akan membantu mempercepat mengeringnya luka - luka akibat kecelakaan kendaraan.
Serum kelas II bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang berkaitan dengan darah. Sebab, serum bisa ular kelas menengah ini akan membersihkan darah dari berbagai zat yang merugikan. Serum kelas II, yakni yang terbuat dari racun ular belang seperti gibuk, welang, weling, dan gadung luwuk Beberapa jenis penyakit yang bisa disembuhkan oleh serum kelas II ini antara lain kencing manis (diabetes mellitus ), tifus, lever, asma, dan alergi.
Serum tingkat I, yang berasal dari bisa ular paling berbahaya, diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit berat macam kanker darah, flu burung, kanker tulang, hingga HIV. dan kebal terhadap gigitan King Cobra .Serum kelas I yang paling tinggi adalah serum kelas I yang terbuat dari bisa ular yang benar-benar? berbahaya seperti, bisa ular Kobra dan Dedak Bromo. Ada pasien yang virus HIV-nya hilang setelah minum serum tingkat I ini,” kata Transtoto.
Di Inggris dan Australia ada penelitian yang mengatakan serum ular dapat mencegah serangan jantung dan stroke. Sayangnya, penelitian itu masih menemui jalan buntu meskipun sudah 25 tahun berjalan. Adapun masalah yang mereka hadapi adalah kesulitan menentukan dosis yang tepat agar serum dapat berfungsi baik dan bukannya malah meracuni tubuh si pasien. Itulah salah satu alasan mengapa sampai kini manfaat dan penggunaan serum ular di dunia kedokteran modern masih jadi perdebatan para ahli. Namun, yang jelas, Transtoto mengklaim, hingga hari ini, setidaknya 40.000 orang telah merasakan khasiat serum ular buatan SHCI. Dan, sejauh ini, “Belum ada satu pun kasus pasien jadi keracunan setelah minum serum ular,” tandasnya.
Sedangkan menurut SHCL pembuatan serum bisa ular degan cara proses pembuatan ketiga jenis serum itu tidak terlalu rumit. Racun ular tinggal dikeluarkan dan dijemur di bawah sinar matahari hingga mengkristal. Nah, jika hendak digunakan, kristal bisa ular akan kembali dicairkan. Cara penggunaannya adalah diminumkan. Komposisinya, satu sendok serum ular ditambah setengah gelas air. Metode ini berbeda dengan penggunaan serum ular di rumah sakit untuk mengobati pasien yang terkena gigitan ular. Hebatnya, seseorang yang pernah minum atau menerima suntikan serum ular akan kebal terhadap gigitan ular bersangkutan seumur hidupnya. Misalnya, jika Anda menerima serum ular weling, seumur hidup Anda akan kebal terhadap gigitan ular weling jenis apa pun.
Metode pembuatan serum ini berbeda dengan prosedur pembuatan Serum secara klinik. Pembuatan serum secara klinik seperti penjelasan kami di bagian awal artikel ini adalah dengan menyuntikkan bisa ular yang sudah di lemahkan pada kuda, sehingga kuda membentuk antibody dan antibody kuda tersebut sebagai serum. Entah kami belum terlalu paham mengenai hal ini. Tetapi menurut kami yang paling masuk akal adalah pembuatan serum secara klinik. Tetapi cara SHCL juga bisa diterima karena bisa ular mengandung protein protein seperti kuning telur dan ketika dimakan / masuk melalui organ pencernaan akan di cerna secara alami, tetapi pertanyaannya adalah apa benar setelah makan protein dari bisa ular akan membentuk anti body dalam tubuh kita ?
Secara tehnis kuning telur juga sangat berbahaya dan memiliki efek yang serupa dengan bisa ular jika kuning telur itu langsung di injeksikan ke vena. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi penggumpalan darah sebagai bentuk rekasi antara kuning telur dan darah.

METODE PEMBUATAN ANTI BISA / SERUM 
Racun ular sangat berbahaya,memicu manusia untuk membuat penangkalnya. Penangkal racun ular yang disebut dengan antiracun atau antivenin dihasilkan dengan metode ‘Horse Serum (Serum Kuda)’.
 
Serum Anti Bisa Ular (Polivalen) Kuda (1)
Deskripsi
- Nama & Struktur Kimia : Serum anti bisa ular polivalen (kuda)
- Sifat Fisikokimia : -
- Keterangan : Serum polivalen yang berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang memiliki efek neurotoksik (ular jenis Naja sputatrix - ular kobra, Bungarus fasciatus - ular belang) dan hemotoksik (ular Ankystrodon rhodostoma - ular tanah)
Antivenom (atau antivenin atau antivenene) merupakan produk biologi yang digunakan dalam pengobatan berbisa gigitan atau sengatan. Antivenom dibuat oleh memerah racun dari yang diinginkan ular , laba-laba atau serangga . Racun tersebut kemudian diencerkan dan disuntikkan ke dalam kuda , domba atau kambing . Binatang subjek akan menjalani reaksi kekebalan terhadap racun, menghasilkan antibodi terhadap molekul aktif racun itu yang kemudian dapat dipanen dari darah binatang itu dan digunakan untuk mengobati envenomation . Secara internasional, antivenoms harus sesuai dengan standar farmakope dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Horse Serum : Racun ular disuntikkan kedalam tubuh kuda, secara berlahan akan terbentuk anti bodi terhadap racun ular tersebut. Serum dipisahkan dari darah kuda.
Namun sepertiga penerima serum kuda mengalami reaksi alergi.Oleh karena itu perlu prosedur standard untuk menuji kepekaan serum sebelum diberikan kepada penderita gigitan ular.
Selain untuk memproduksi antivenin, bisa ular ternyata dapat digunakan untuk bidang kesehatan dan kedokteran lain, seperti :
  • .Racun Ular Copperhead : Mengobati penderita kanker payudara
  • Racun Malayan Pit Viper: Dimanfaatka untuk mencegah pembekuan darah, mungkin bermanfaat untuk penderita sroke
  • Enzim racun Kobra: sedang diteliti untuk mencegar penyakit Parkinzon, Alzeimer, serta leukemia dan kanker.
  • Racun Ular Viper: Diduga dapat mengatasi osteoporosis dan memperkecil tumor tertentu
  • Beberapa jenis ekstrak bisa ular digunakan untuk antikoagulan, penyakit, mengobati penyakit jantung atau darah tinggi.
Terminologi Antivenom atau serum antibisa
Nama "antivenin" berasal dari kata Perancis venin , yang berarti racun , yang pada gilirannya berasal dari bahasa Latin venenum , yang berarti racun . Secara historis antivenin predominan di seluruh dunia. Penggunaan pertama yang diterbitkan dalam semester itu adalah pada tahun 1895. Pada tahun 1981, Organisasi Kesehatan Dunia memutuskan bahwa istilah yang lebih disukai dalam bahasa Inggris akan menjadi racun dan antivenom daripada venin dan antivenin atau venen dan antivenene.

Penggunaan Terapi
Prinsip antivenom didasarkan pada bahwa dari vaksin , yang dikembangkan oleh Edward Jenner , namun, bukannya merangsang kekebalan pada pasien langsung, diinduksi dalam hewan inang dan serum hyperimmunized yang ditransfusikan ke pasien.
Antivenoms dapat diklasifikasikan ke dalam monovalen ( ketika mereka efektif terhadap racun spesies tertentu ) atau polivalen (ketika mereka efektif terhadap berbagai spesies, atau spesies yang berbeda pada saat yang sama). Para antivenom pertama untuk ular (disebut anti-ophidic serum) dikembangkan oleh Albert Calmette , seorang ilmuwan Perancis Institut Pasteur bekerja di perusahaan Indochine cabang di 1895, melawan Cobra India (Naja naja). Vital Brazil , seorang ilmuwan Brasil, dikembangkan pada tahun 1901 antivenoms monovalen dan polivalen pertama bagi Tengah dan Amerika Selatan Crotalus , Bothrops dan Elaps genera, serta untuk beberapa jenis berbisa laba-laba , kalajengking , dan katak . Mereka semua dikembangkan di lembaga Brasil, Butantan Instituto , yang terletak di São Paulo , Brasil .
Antivenoms untuk digunakan terapi sering diawetkan sebagai beku-kering ampul , tetapi beberapa hanya tersedia dalam bentuk cair dan harus disimpan dalam lemari es. Mereka tidak segera dilemahkan oleh panas, bagaimanapun, jadi celah kecil dalam rantai dingin tidak bencana. Mayoritas antivenoms (termasuk semua antivenoms ular) yang diberikan secara intravena, namun stonefish dan laba-laba Redback antivenoms diberikan intramuskuler . Rute intramuskular telah dipertanyakan dalam beberapa situasi tidak seragam efektif.
Antivenoms mengikat dan menetralisir racun, menghentikan kerusakan lebih lanjut, tetapi tidak membalik kerusakan sudah dilakukan. Jadi, mereka harus diberikan sesegera mungkin setelah racun telah disuntikkan, tetapi dari beberapa manfaat selama racun hadir dalam tubuh. Sejak munculnya antivenoms, beberapa gigitan yang sebelumnya selalu fatal telah menjadi hanya jarang fatal asalkan antivenom ini dikelola cukup cepat.
Antivenoms disucikan oleh beberapa proses tapi masih akan berisi serum lain protein yang dapat bertindak sebagai antigen . Beberapa individu mungkin bereaksi terhadap antivenom dengan reaksi hipersensitivitas segera ( anafilaksis ) atau hipersensitivitas tertunda ( serum sickness ) reaksi dan antivenom harus, karena itu, digunakan dengan hati-hati. Meskipun hati-hati ini, antivenom biasanya merupakan satu-satunya pengobatan yang efektif untuk kondisi yang mengancam jiwa, dan sekali tindakan pencegahan untuk mengelola reaksi-reaksi ini di tempat, reaksi anaphylactoid bukan alasan untuk menolak untuk memberikan antivenom jika dinyatakan lain. Walaupun merupakan mitos yang populer bahwa orang yang alergi terhadap kuda "tidak bisa" diberikan antivenom, efek sampingan dapat dikendalikan, dan antivenom harus diberikan secepat efek samping dapat dikelola.
Di AS antivenom hanya disetujui untuk pit viper ( ular , Copperhead dan air sepatu sandal ) gigitan ular didasarkan pada produk murni dibuat pada domba dikenal sebagai CroFab . Ini disetujui oleh FDA pada bulan Oktober, 2000. AS karang ular antivenom tidak lagi diproduksi, dan saham yang tersisa di-date antivenom untuk gigitan ular karang berakhir pada musim semi 2009, meninggalkan AS tanpa antivenom ular Karang. Upaya yang dilakukan untuk mendapat persetujuan atas antivenom ular karang yang diproduksi di Meksiko yang akan bekerja melawan karang AS gigitan ular, tetapi persetujuan tersebut masih bersifat spekulatif. Dengan tidak adanya antivenom, semua karang gigitan ular harus dirawat di rumah sakit dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik elektif sampai efek neurotoksin ular karang mereda. Penting untuk diingat bahwa kelumpuhan pernafasan pada karang gigitan ular dapat terjadi tiba-tiba, sering hingga 12 jam atau lebih setelah gigitan, sehingga intubasi dan ventilasi harus digunakan untuk mengantisipasi kegagalan pernapasan dan tidak setelah itu terjadi, ketika mungkin terlalu terlambat .
Alami Kekebalan dan diperoleh
Meskipun individu dapat berbeda dalam respon fisiopatologis mereka dan kepekaan terhadap venoms hewan, tidak ada kekebalan alami kepada mereka pada manusia. Beberapa ophiophagic hewan kebal terhadap racun yang dihasilkan oleh beberapa spesies ular berbisa, oleh adanya faktor antihemorrhagic dan antineurotoxic dalam darah mereka. Hewan ini termasuk Kingsnakes , oposum , mongooses, dan landak .
Hal ini sangat mungkin untuk mengimunisasi orang langsung dengan dosis kecil dan bergradasi racun daripada binatang. Menurut sejarah Yunani , Raja Mithridates melakukan ini untuk melindungi diri terhadap upaya dari keracunan , sehingga prosedur ini sering disebut mithridatization . Namun, tidak seperti vaksinasi terhadap penyakit yang hanya harus menghasilkan laten kekebalan yang dapat membangkitkan jika terjadi infeksi , untuk menetralkan dosis mendadak dan besar racun memerlukan mempertahankan tingkat tinggi antibodi beredar (keadaan hyperimmunized), melalui suntikan racun diulang (biasanya setiap 21 hari). Efek kesehatan jangka panjang dari proses ini belum diteliti. Untuk beberapa ular besar, jumlah total antibodi adalah mungkin untuk mempertahankan dalam satu manusia tidak cukup untuk menetralkan satu envenomation [ rujukan? ]. Selanjutnya, sitotoksik komponen racun dapat menyebabkan rasa sakit dan jaringan parut kecil di tempat imunisasi. Akhirnya, perlawanan adalah khusus untuk racun tertentu yang digunakan; mempertahankan ketahanan terhadap berbagai venoms membutuhkan beberapa suntikan racun bulanan. Dengan demikian, tidak ada tujuan praktis atau yang menguntungkan biaya / manfaat rasio ini, kecuali orang-orang seperti kebun binatang penangan, peneliti, dan seniman sirkus yang berhubungan erat dengan hewan berbisa. Mithridatization telah berhasil diuji di Australia dan Brasil dan kekebalan total telah tercapai bahkan gigitan beberapa kobra yang sangat berbisa dan ular beludak pit. Mulai tahun 1950, Bill Haast berhasil diimunisasi dirinya pada venoms dari Cape , India dan Raja kobra
Karena neurotoksik venoms harus melakukan perjalanan jauh dalam tubuh untuk melakukan kejahatan dan diproduksi dalam jumlah lebih kecil, lebih mudah mengembangkan resistansi terhadap mereka daripada venoms langsung sitotoksik (seperti yang sebagian besar ular berbisa ) yang disuntikkan dalam jumlah besar dan melakukan kerusakan segera setelah injeksi.

Bagaimanakah Gigitan Ular Dapat Terjadi ?
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus.

Bagaimana Mengenali Ular Berbisa ?
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segiempat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).

GEJALA KLINIS TERKENA GIGITAN ULAR BERBISA:
1.     Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
2.     Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
3.     Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi (ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur

Gigitan Elapidae (misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits)
1.     Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2.     Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3.     Setelah digigit ular
a. 15 menit: muncul gejala sistemik.
b. 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

Gigitan Viperidae / Crotalidae (ular: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo):
1.     Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2.     Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3.     Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiidae (misalnya: ular laut):
1.     Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2.     Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae (misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1.     Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2.     Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari amin biogenik, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan pada Viperidae. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi edem ( pembengkakan ) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis ( kelumpuhan otot ), pulselesness (denyutan).

Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:

1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke tempat perawatan medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi ( membuat tidak bergerak ) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure - immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Penatalaksanaan Sebelum dibawa ke rumah sakit:
  • Diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
  • Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung yang terkena gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paskagigitan.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.

3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.

4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
1.     Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
2.     Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
3.     Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal
4.     Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus
5.     Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular
6.     Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik
7.     Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas
Setelah dibawa ke rumah sakit:
Beri SABU ( Serum Anti Bisa Ular ) polivalen 1 ml berisi:
1. 10 - 50 LD50 bisa Ankystrodon
2. 25-50 LD50 bisa Bungarus
3. 25-50 LD50 bisa Naya sputarix
4. Fenol 0,25% v/v.

Teknik Pemberian:
2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Informasikan pada pasien mengenai kemungkinan efek samping yang tertunda, terutama serum sickness (demam, rash, arthralgias).Tindakan pertama pada gigitan ular:
1.     Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan kalium permanganat untuk menghilangkan atau menetralisir bisa ular yang belum terabsorpsi.
2.     Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi beberapa menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa atau dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak jaringan dibawah kulit dan akan meninggalkan luka parut yang cukup besar.
3.     Anggota badan yang digigit secepatnya diikat untuk menghambat penyebaran racun.
4.     Lakukan kemudian imobilisasi anggota badan yang digigit dengan cara memasang bidai karena gerakan otot dapat mempercepat penyebaran racun.
5.     Bila mungkin anggota badan yang digigit didinginkan dengan es batu.
6.     Penderita dilarang untuk bergerak dan apabila perlu dapat diberikan analgetika atau sedativa.
7.     Penderita secepatnya harus dibawa ke dokter atau rumah sakit yang terdekat untuk menerima perawatan selanjutnya.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Pemilihan anti bisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat sulit untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah korban dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2% dalam garam faali dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40 - 80 tetes per menit, kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum ( 80 - 100 ml ). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis anti serum untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.
Stabilitas Penyimpanan Serum antibisa
Disimpan pada suhu 2 - 8°C dalam lemari es, jangan dalam freezer. Daluarsa = 2 tahun.
Kontraindikasi Serum antibisa
Tidak ada kontraindikasi absolut pada terapi anti bisa ular untuk envenoming sistemik yang nyata; terapi diperlukan dan biasanya digunakan untuk menyelamatkan jiwa.

Efek Samping Serum Antibisa.
1.     Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2.     Serum sickness; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam, gatal-gatal, eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya.
3.     Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4.     Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
Interaksi
1.     Dengan Obat Lain : Belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
2.     Dengan Makanan : -

Pengaruh
1.     Terhadap Kehamilan : Tidak ada data mengenai penggunaan anti bisa ular pada kehamilan. Keuntungan penggunaan terhadap ibu dan bayi melebihi kemungkian risiko penggunaan serum anti bisa ular.
2.     Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data. Keuntungan pengunaan terhadap ibu melebihi kemungkinan risiko pada bayi.
3.     Terhadap Anak-anak : Anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap envenoming yang parah karena massa tubuh yang lebih kecil dan kemungkinan aktivitas fisik yang lebih besar. Anak-anak membutuhkan dosis yang sama dengan dewasa, dan tidak boleh diberikan dosis anak berdasarkan berat badan (pediatric weight-adjusted dose);disebabkan hal ini dapat menimbulkan perkiraan dosis yang lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan tergantung dari jumlah bisa ular yang perlu dinetralisasi bukan berat badan pasien
4.     Terhadap Hasil Laboratorium : -

Parameter Monitoring
Monitor efek dari serum anti bisa ular baik secara klinis maupun laboratorium. Monitor efek samping setelah administrasi serum anti bisa ular. Monitoring yang diperlukan dapat berbeda tergantung dari jenis ular yang menggigit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ular yang menggigit, monitor coagulopathy, flaccid paralysis, myolysis dan fungsi ginjal.
Bentuk Sediaan 
Vial 5 ml, Tiap ml Sediaan Dapat Menetralisasi :
  • 10-15 LD50 Bisa Ular Tanah (Ankystrodon Rhodostoma)
  • 25-50 LD50 Bisa Ular Belang (Bungarus Fasciatus)
  • 25-50 LD50 Bisa ular kobra (Naja Sputatrix), dan mengandung fenol 0.25% v/v

Anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala atau tanda diatas ditemukan. Anti bisa ular akan menetralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari yang lalu atau pada kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan walaupun sudah terjadi lebih dari 2 minggu. Tetapi beberapa bukti klinis menyebutkan bahwa anti bisa ular efektif jika diberikan dalam beberapa jam setelah digigit ular.
Lebih dari 10% pasien mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap anti bisa ular, reaksinya dapat trejadi secara cepat (dalam beberapa jam) atau lambat (5 hari atau lebih). Resiko reaksi tergantung dosis yang diberikan, kecuali pada kasus yang jarang, terjadi sensitisasi (Ig E-mediated type I hypersensitivity) oleh serum hewan sebelumnya, contohnya : Ig-tetanus, Ig-rabies.

Reaksi Anafilaksis
Terjadi dalam 10-180 menit setelah pemberian anti bisa ular, gejalanya gatal, urtikaria, batuk kering, demam, mual, muntah, diare dan takikardi. Sebagian kecil pasien akan mengalami reaksi anafilaksis yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan angioedema.

Reaksi Pyrogenik (endotoksin)
Terjadi dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejalanya berupa demam, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Reaksi ini disebabkan kontaminasi pirogen selama proses dipabrik.

Reaksi Lambat
Terjadi dalam 1-12 hari setelah pengobatan, gejala klinisnya berupa demam, mual, muntah, diare, gatal, urtikaria berulang, atralgia, mialgia, limpadenopati, proteinuria dengan nephritis kompleks imun, dan encephalopati (jarang).

Pengobatan reaksi yang terjadi setelah pemberian anti bisa ular
Reaksi anafilaksis dan pyrogen anti bisa ular
Epineprin (adrenalin) diberikan intra muskular (lateral paha atas) dengan dosis awal 0,5mg untuk dewasa dan 0,01mg/kgBB untuk anak-anak. Adrenalin harus segera diberikan setelah muncul gejala, dosis dapat diulang setiap 5-10 menit jika kondisi tidak membaik.
Pengobatan tambahan berupa antihistamin, anti-H1 blocker seperti klorphenamin maleat (dewasa 10mg, anak-anak 0,2mg/kgBB IV dalam beberapa menit) harus diberikan dengan hidrokortison (dewasa 100mg, anak-anak 2mg/kgBB). Pada reaksi pirogen dapat diberikan anti piretik (contohnya parasetamol oral atau supp). Cairan intravena harus diberikan untuk mengatasi hipovolemia.

Reaksi lambat (serum sickness)
Anti histamin oral diberikan selama 5 hari, jika tidak ada respon dalam 24-48 jam berikan prednisolon selama 5 hari.
Dosis : chlorphenamine : dewasa 2mg/6 jam, anak-anak 0,25mg/kg/hari
Prednisolone : dewasa 5mg/6 jam, anak-anak 0,7mg/kg/hari


REFERENSI
1.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/alternative-medicine/1950679-    khasiat-serum-ular/
2.
http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/24/penatalaksanaan-keracunan- akibat-gigitan-ular-berbisa/
3. http://wong168.wordpress.com/2012/02/03/mengenai-racun-ular/
4. http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/364-serum-anti-bisa-ular-polivalen-kuda-1
5. http://tn-bb.com/cara-terapi-pengobatan-dan-penyembuhan-keracunan-bisa-ular.htm
6. http://en.wikipedia.org/wiki/Antivenom
7. http://www.popularmechanics.com/science/health/med-tech/how-to-make-antivenom-why-the-world-is-running-out
8. http://cdma.jalamobile.net/index.php/detil/items/serum-anti-bisa-ular.html


Rabu, 24 Oktober 2012


    BAHAYA KIMIA PADA OBAT DESINFEKTAN

             Apakah kalian tahu bahwa obat desinfektan sangat berbahaya bagi tubuh kita dan keluarga...? Desinfektan pada dasarnya adalah bahan kimia yang sangat beracun, biasanya bahan desinfektan terdapat pada obat pembasmi serangga dan banyak kita temui di toko-toko atau supermarket, padahal bahan kimia tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan kita sendiri apabila digunakan dengan tidak semestinya. Disini akan dijelaskan beberapa kegunaan bahan kimia desinfektan.

            Pada dasarnya ada persamaan jenis bahan kimia yang digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan. Tapi tidak semua bahan desinfektan adalah bahan antiseptik karena adanya batasan dalam penggunaan antiseptik. Antiseptik tersebut harus memiliki sifat tidak merusak jaringan tubuh atau tidak bersifat keras. Terkadang penambahan bahan desinfektan juga dijadikan sebagai salah satu cara dalam proses sterilisasi, yaitu proses pembebasan kuman. Tetapi pada kenyataannya tidak semua bahan desinfektan dapat berfungsi sebagai bahan dalam proses sterilisasi.


Walaupun kita sering menggunakan produk desinfektan, sebagian besar konsumen tentunya belum mengenal jenis bahan kimia apa yang ada dalam produk tersebut. Padahal bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan efektivitas dan fungsi serta target mikroorganime yang akan dimatikan.
Dalam proses desinfeksi sebenarnya dikenal dua cara, cara fisik (pemanasan) dan cara kimia (penambahan bahan kimia). Dalam tulisan ini hanya difokuskan kepada cara kimia, khususnya jenis-jenis bahan kimia yang digunakan serta aplikasinya.
Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai desinfektan, tetapi umumnya dikelompokkan ke dalam golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH; golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus -X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan biguanida. Beberapa jenis bahan yang berfungsi sebagai desinfektan dijelaskan di bawah ini :

  • Golongan "aldehid"
Bahan kimia golongan aldehid yang umum digunakan antara lain formaldehid, glutaraldehid dan glioksal. Golongan aldehid ini bekerja dengan cara denaturasi dan umum digunakan dalam campuran air dengan konsentrasi 0,5% 5%. Daya aksi berada dalam kisaran jam, tetapi untuk kasus formaldehid daya aksi akan semakin jelas dan kuat bila pelarut air diganti dengan alkohol. Formaldehid pada konsentrasi di bawah 1,5% tidak dapat membunuh ragi dan jamur, dan memiliki ambang batas konsentrasi kerja pada 0,5 mL/m3 atau 0,5 mg/L serta bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Larutan formaldehid dengan konsentrasi 37% umum disebut formalin dan biasa digunakan utuk pengawetan mayat.
Glutaraldehid memiliki daya aksi yang lebih efektif dibanding formaldehid, sehingga lebih banyak dipilih dalam bidang virologi dan tidak berpotensi karsinogenik. Ambang batas konsentrasi kerja glutaraldehid adalah 0,1 mL/m3 atau 0,1 mg/L.
Pada prinsipnya golongan aldehid ini dapat digunakan dengan spektrum aplikasi yang luas, misalkan formaldehid untuk membunuh mikroorganisme dalam ruangan, peralatan dan lantai, sedangkan glutaraldehid untuk membunuh virus. Keunggulan golongan aldehid adalah sifatnya yang stabil, persisten, dapat dibiodegradasi, dan cocok dengan beberapa material peralatan. Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain dapat mengakibatkan resistensi dari mikroorganisme, untuk formaldehid diduga berpotensi bersifat karsinogen, berbahaya bagi kesehatan, mengakibatkan iritasi pada sistem mukosa, aktivitas menurun dengan adanya protein serta berisiko menimbulkan api dan ledakan.

  • Golongan alkohol
Golongan alkohol merupakan bahan yang banyak digunakan selain golongan aldehid. Beberapa bahan di antaranya adalah etanol, propanol dan isopropanol. Golongan alkohol bekerja dengan mekanisme denaturasi serta berdaya aksi dalam rentang detik hingga menit dan untuk virus diperlukan waktu di atas 30 menit. Umum dibuat dalam campuran air pada konsentrasi 70-90 %.
Golongan alkohol ini tidak efektif untuk bakteri berspora serta kurang efektif bagi virus non-lipoid. Penggunaan pada proses desinfeksi adalah untuk permukaan yang kecil, tangan dan kulit. Adapun keunggulan golongan alkohol ini adalah sifatnya yang stabil, tidak merusak material, dapat dibiodegradasi, kadang cocok untuk kulit dan hanya sedikit menurun aktivasinya bila berinteraksi dengan protein . Sedangkan beberapa kerugiannya adalah berisiko tinggi terhadap api/ledakan dan sangat cepat menguap.

  • Golongan pengoksidasi
Bahan kimia yang termasuk golongan pengoksidasi kuat dibagi ke dalam dua golongan yakni peroksida dan peroksigen di antaranya adalah hidrogen peroksida, asam perasetik, kalium peroksomono sulfat, natrium perborat, benzoil peroksida, kalium permanganat. Golongan ini membunuh mikroorganisme dengan cara mengoksidasi dan umum dibuat dalam larutan air berkonsentrasi 0,02 %. Daya aksi berada dalam rentang detik hingga menit, tetapi perlu 0,5 - 2 jam untuk membunuh virus.
Pada prinsipnya golongan pengoksidasi dapat digunakan pada spektrum yang luas, misalkan untuk proses desinfeksi permukaan dan sebagai sediaan cair. Kekurangan golongan ini terutama oleh sifatnya yang tidak stabil, korosif, berisiko tinggi menimbulkan ledakan pada konsentrasi di atas 15 %, serta perlu penanganan khusus dalam hal pengemasan dan sistem distribusi/transpor.
  • Golongan "halogen"
Golongan halogen yang umum digunakan adalah berbasis iodium seperti larutan iodium, iodofor, povidon iodium, sedangkan senyawa terhalogenasi adalah senyawa anorganik dan organik yang mengandung gugus halogen terutama gugus klor, misalnya natrium hipoklorit, klor dioksida, natrium klorit dan kloramin. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 1 - 5%. Aplikasi proses desinfeksi dilakukan untuk mereduksi virus, tetapi tidak efektif untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi.
Umum digunakan sebagai desinfektan pada pakaian, kolam renang, lumpur air selokan. Adapun kekurangan dari golongan halogen dan senyawa terhalogenasi adalah sifatnya yang tidak stabil, sulit terbiodegradasi, dan mengiritasi mukosa.
  • Golongan "fenol"
Senyawa golongan fenol dan fenol terhalogenasi yang telah banyak dipakai antara lain fenol (asam karbolik), kresol, para kloro kresol dan para kloro xylenol. Golongan ini berdaya aksi dengan cara denaturasi dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 0,1-5%. Aplikasi proses desinfeksi dilakukan untuk virus, spora tetapi tidak baik digunakan untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi. Umum digunakan sebagai dalam proses desinfeksi di bak mandi, permukaan dan lantai, serta dinding atau peralatan yang terbuat dari papan/kayu.
Adapun keunggulang dari golongan golongan fenol dan fenol terhalogenasi adalah sifatnya yang stabil, persisten, dan ramah terhadap beberapa jenis material, sedangkan kerugiannya antara lain susah terbiodegradasi, bersifat racun, dan korosif.
  • Golongan garam
amonium kuarterner
Beberapa bahan kimia yang terkenal dari golongan ini antara lain benzalkonium klorida, bensatonium klorida, dan setilpiridinium klorida. Golongan ini berdaya aksi dengan cara aktif-permukaan dalam rentang waktu sekira 10-30 menit dan umum digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 0,1%-5%. Aplikasi untuk proses desinfeksi hanya untuk bakteri vegetatif, dan lipovirus terutama untuk desinfeksi peralatannya.
Keunggulan dari golongan garam amonium kuarterner adalah ramah terhadap material, tidak merusak kulit, tidak beracun, tidak berbau dan bersifat sebagai pengemulsi, tetapi ada kekurangannya yakni hanya dapat terbiodegradasi sebagian. Kekurangan yang lain yang menonjol adalah menjadi kurang efektif bila digunakan pada
pakaian, spon, dan kain pel karena akan terabsorpsi bahan tersebut serta menjadi tidak aktif bila bercampur dengan sabun, protein, asam lemak dan senyawa fosfat.
Salah satu produk yang sudah dipasarkan dari golongan ini diklaim efektif untuk membunuh parvovirus, di mana virus ini merupakan jenis virus hidrofilik yang sangat susah untuk dimatikan dibandingkan virus lipofilik.
  • Golongan "biguanida"
Bahan kimia yang sudah digunakan dari golongan ini antara lain klorheksidin. Klorheksidin terkenal karena sangat ampuh untuk antimikroba terutama jenis bakteri gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif. Klorheksidin sangat efektif dalam proses desinfeksi Staphylococcus aureaus, Escherichia coli, dan
Pseudomonas aeruginosa, tetapi kurang baik untuk membunuh beberapa organisme gram negatif, spora, jamur terlebih virus serta sama sekali tidak bisa membunuh Mycoplasma pulmonis.

Faktor yang harus diperhatikan
Dari semua bahan desinfektan tersebut di atas tidak semua dapat efektif dalam semua kondisi dan aplikasi. Perbedaan jenis mikroorganisme serta kondisi lingkungan akan menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam sensitivitas atau resistensinya.
Supaya fungsi desinfektan menjadi efektif, maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan produk desinfektan, yakni harus dapat digunakan dalam spektrum dan aktivitas penggunaan yang luas, menunjukkan daya reduksi/bunuh terhadap
mikroorganisme hidup pada saat berkontak, dapat bekerja pada rentang pH dan suhu yang luas, dapat bekerja dengan adanya senyawa organik, waktu paparan/kerja yang cukup singkat, batas konsentrasi yang kecil, dan stabilitas senyawa.
Selain itu, untuk aplikasi di lapangan terdapat kecenderungan konsumen untuk memilih desinfektan yang aman bagi lingkungan, mudah untuk digunakan, daya aksi yang cepat serta murah. Tetapi faktor harga terkadang menjadi batasan tersendiri. Sebagai contoh banyak konsumen menggunakan desinfektan gas klor (klorin) untuk
proses desinfeksi air. Bahan tersebut bekerja dengan baik untuk membunuh bakteri, fungi dan virus, tetapi bahan ini mempunyai efek merusak/korosif pada kulit dan peralatan. Selain itu gas klorin juga berpotensi merusak sistem pernapasan bagi manusia dan binatang.
Dengan mengetahui dan mengenal jenis bahan kimia yang digunakan dalam produk desinfektan diharapkan konsumen dapat memilih produk yang tepat sasaran, yakni kesesuaian antara bahan kimia yang dikandungnya dengan jenis dan target mikroorganismenya. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan menjadi tepat sasaran, berhasil guna dan berdaya guna. Manfaat lain adalah dengan mengetahui risiko dan efek negatif yang mungkin ditimbulkan oleh bahan kimia dalam desinfektan, seperti risiko keracunan pada anak, polusi terhadap lingkungan, risiko terhadap kesehatan serta efek karsinogen, maka diharapkan konsumen lebih berhati-hati dalam penggunaan dan penanganan produk-produk tersebut. 


sumber: